*** Edisi Selasa, 27 Jumadil akhir 1432 H
Imam Abu Hanifah rahimahullah adalah seorang imam madzhab yang memiliki keilmuan yang mendalam. Ia terkenal dengan kecerdasan dan sikap wara`nya. Seringkali ia dapat mengalahkan debat dengan orang-orang yang membenci islam atau bahkan dengan seorang muslim yang salah tapi angkuh dengan pendapatnya.
Imam Abu Hanifah adalah seorang saudagar. Salah satu rekan bisnisnya bernama Hafsh bin Abdurrahman. Abu Hanifah biasa menitipkan kain kepadanya untuk dijual ke beberapa kota di irak.
Suatu kali Abu Hanifah memberikan dagangan yang banyak kepada Hafsh sambil memberitahukan bahwa pada barang ini dan itu ada cacatnya. Ia berkata ,"Jika engkau bermaksud menjualnya, beritahukanlah cacat barang kepada orang yang hendak membelinya".
Akhirnya Hafsh berhasil menjual seluruh barang dagangan milik Abu Hanifah. Namun ia lupa memberitahukan cacat barang-barang tertentu tersebut. Dia berusaha mengingat-ingat orang yang telah membeli barang yang ada cacatnya itu, namun hasilnya nihil. Ketika Abu Hanifah mengetahui masalah itu, tapi tak memungkinkan diketahui siapa yang telah membeli barang yang ada cacatnya tersebut. Ia merasa tidak tenang hingga akhirnya ia sedekahkan seluruh hasil penjualan yang dibawa Hafsh. Inilah bukti sifat wara` imam Abu Hanifah . Semangatnya untuk menjauhi hal-hal yang diharamkan dan juga yang syubhat (meragukan).
Dalam banyak kasus, seringkali seseorang lebih mengedepankan untung rugi secara materi duniawi. Dia lebih memilih untuk tidak kehilangan sedikitpun dari jerihpayahnya. Berat rasanya untuk merelakan sesuatu yang sudah nyata-nyata didepan matanya. Tetapi tidak begitu dengan imam Abu Hanifah. Dalam kisah diatas kita dapat melihat betapa imam Abu Hanifah amat takut dengan sesuatu yang akan menjadikannya diseret ke neraka akibat suatu kezhaliman yang dibuatnya, akibat menggunakan harta yang tidak sah miliknya.
Mungkin kita akan berfikir, "mengapa imam Abu Hanifah tidak memperkirakan saja berapa harga yang didalamnya ada keraguan itu, lalu ia hanya mensedekahkan yang sudah ia sisihkan itu dengannya dan jangan semuanya disededekahkan, lalu apakah ia tidak akan rugi dengan cara yang ia tempuh ?"
Tetapi inilah sikap wara` yang dilandasi dengan ilmu. Sikap kehati-hatian untuk tidak jatuh dalam perkara yang diragukan kehalalannya. Sebagai seorang ulama yang memiliki keilmuan yang dalam, imam Abu Hanifah sangat mengetahui apa resikonya jika ia benar-benar memakan harta yang haram, maka hanya sekedar ragu saja, ia lebih memilih "selamat" dan "tenang" daripada keraguan dan kebimbangan yang selalu menyelimuti dirinya.
Sesungguhnya sifat WARA` merupakan buah yang muncul dari ketaqwaan seseorang kepada ALLAH. Rasa takut kepada ALLAH dan murka-Nya, serta perasaan khawatir jatuh kepada sesuatu yang mendatangkan murka ALLAH atas dirinya, hingga akhirnya dia rela untuk "meninggalkan yang berbau syubhat/meragukan".
Sifat ini akan dimiliki seseorang manakala ia benar-benar merasa diawasi oleh ALLAH dan tidak akan ada yang luput dari pencatatan disisi-Nya. Manakala seseorang sudah memahami hakikat pengawasan ALLAH atas dirinya, dan ancaman apa yang akan ALLAH timpakan atas dirinya saat ia melakukan dosa, maka lahirlah sifat TAQWA dari dirinya, yang kemudian darinya berbuah sifat wara`. Dengan demikian, dalam keadaan seperti itu ia akan memilih yang lebih menyelamatkannya dari murka ALLAH atas dirinya. Dia akan teguh untuk mengambil sikap yang fenomenal dengan mengorbankan apa yang sudah ada didepan matanya sekalipun, demi kenyamanan jiwanya dalam memenuhi apa yang menjadi batas-batas yang ALLAH sudah tentukan, sehingga kelak ia benar-benar "bersih" saat menghadap ALLAH.
Abu Sulaiman as-Darani berkata, "Wara` merupakan permulaan zuhud, seperti halnya qana'ah (merasa cukup dengan yang ada) adalah permulaan dari ridha". Dengan defenisi ini kita dapat memahami, bahwa memang sikap zuhud akan ada pada diri seseorang manakala ia memiliki sifat wara`. Di benaknya materi duniawi tidaklah berarti apa-apa dibandingkan kenikmatan di akherat, dibandingkan dengan murka ALLAH yang disediakan bagi orang yang melanggar batas-batas yang telah ALLAH halalkan.
Orang yang memiliki sifat Wara` akan lebih takut kehilangan akheratnya dari pada kehilangan dunianya. Perhatikanlah kisah yang bisa kita cermati ketika seorang gadis (pada zaman kekhilafah Umar bin Khattab radyiallahu anh) yang menolak perintah ibunya untuk mencampur susu kambing yang akan dijualnya dengan air, karena hal itu dilarang oleh Amirul-mukminin. Gadis yang shalihah ini takut akan murka ALLAH dan ia yakin bahwa mereka dalam pengawasan ALLAH walau amirul-mukminin tidak melihatnya. Ia tidak suka untuk berlaku khianat kepada sang Maha Pencipta. Ia lebih memilih untuk bersikap zuhud dengan keuntungan yang sedikit menurut ukuran duniawi dari pada banyak namun mendapat murka ALLAH.
Dengan sifat wara` yang dimiliki gadis ini, umar menikahkan 'ashim anaknya dengannya. Sebab padanya terdapat nilai-nilai yang agung yang dimiliki wanita shalihah yang akan menjaga rumahtangga anaknya dan keturunannya.
*** Wallahu a'lam.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !