*** Edisi Selasa, 13 shafar 1432 H
Ikhwati Fillah….
Ada sebuah ibadah yang tidak banyak disadari oleh sebagian besar kaum muslimin. Ibadah yang pernah ALLÂH amanahkan kepada Nabi-Nabi-Nya, ibadah yang pernah ALLAH Azza wa Jalla tawarkan kepada langit dan bumi, namun karena bebannya begitu berat, maka langit , bumi dan gunung-gunung tidak sanggup untuk melaksanakannya. ALLÂH menjelaskan ibadah tersebut dalam firman-Nya :
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ
"Dia telah mensyariatkan kalian tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kalian berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama) -Nya orang yang kembali (kepada-Nya". (QS. Asy-syura : 13).
Ibadah tersebut adalah IQOMATUDDIN. Mempelajari, mengajarkan dan memperjuangkan Dienul-Islam serta bersabar dalam menghadapi rintangan yang menghadang.
Ikhwati Fillah…
Persepsi kita harus diluruskan , iqomatuddin bukan kewajiban seorang ustadz saja, bukan tugas alumni-alumni pondok pesantren, atau sarjana-sarjana agama saja. Bukan, .. dan sekali lagi bukan. Namun Iqomatuddin adalah amanah seluruh umat islam, tanpa kenal status sosial, pangkat , jabatan dan usia. Selama mereka masih sebagai seorang muslim, maka tanggung jawab Iqomatuddin berada dipundaknya.
Ikhwati Fillah...
Bilal bin Rabah Rodhiyallâhu anh , sebagai seorang yang status sosialnya dipandang rendah sebelum itu itu, juga mempunyai tugas dan kewajiban untuk iqomatuddin. Abu Bakar Rodhiyallâhu anh seorang saudagar yang terpandang, beliau tetap diwajibkan berdebu dan berlusuh-lusuh di medan jihad. Begitu Pula Abdurrahman bin Auf Rodhiyallâhu anh , seorang muhajirin yang dikemudian hari menjadi shahabat yang kaya dan meng-infaqkan harta dalam jumlah fenomenal, jauh lebih dari 21 milyar rupiah (jika di kurs-kan dengan rupiah hari ini), iapun tak luput dari kewajiban iqomatuddin ini, sehingga ditubuhnya terdapat puluhan bekas luka-luka dalam kancah jihad fii sabiilillah akibat tebasan pedang dan lemparan tombak.
Perhatikanlah sosok lain dari shahabat mulia seperti Mush'ab bin Umair, sebelum masuk islam ia adalah pemuda yang selalu tampil perlente, senang dengan hura-hura, dan ketika berjalan meninggalkan bau semerbak di jalan yang ia lalui. Tetapi sesudah menjadi seorang muslim, maka islam telah menyatu dengan jiwa dan raganya. Beliau harus rela meninggalkan tanah airnya dan keluarganya yang selalu memanjakannya, lalu kini ia harus berjuang dengan gigih dan penuh kesabaran dalam menyebarkan islam di Yastrib atas perintah Rasûlullâh Shollallâhu alaihi wasallam. Suatu tugas yang besar yang memerlukan kesabaran untuk senantiasa setia menjalankan misinya yang agung. Ia mengajarkan islam di Yastrib (atau disebut juga Madinah). Beliau tetap tegar menghadapi teror, ancaman dan ejekan demi tersebarnya Tauhid di muka bumi dan tegaknya islam. Ancaman yang dihadapinya bahkan sampai dengan resiko kematian yang senantiasa mengancamnya. Namun ia selalu teguh dalam tugas iqomatuddin yang dia emban. Begitu juga saat ia menjumpai kesyahidannya,… ia tidak memiliki kain yang cukup walau hanya untuk menutupi seluruh tubuhnya, padahal dia dahulu dia orang yang berpakaian mewah. Inilah dia sekarang, ia menjumpai ALLÂH sebagai syahid di jalan-Nya, jika kainnya ditarik untuk menutup kakinya, maka kepalanya akan terbuka, demikian pula ketika kepalanya yang ditutup maka kakinya akan terbuka,hingga Rasûlullâh menjadikan kainnya itu untuk menutup kepalanya sedang kakinya ditutup dengan dedaunan pohon idkhir.
Sungguh, mereka sadar kewajiban iqomatuddin diamanahkan kepada mereka semua, tidak kenal pangkat, umur, kaya ataupun miskin. bahkan ia merupakan kewajiban disetiap saat dan tempat. Disetiap denyutan nadi dan hembusan nafas mereka. Dan sungguh mereka telah membuktikannya sampai akhir hayat mereka, dan menemui ALLÂH dalam keadaan melaksanakan tugas yang agung ini.
Ikhwati Fillah...
Sebagian kaum muslimin menyangka bahwa iqomatuddin adalah kewajiban sesaat yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Seolah-olah ia merupakan kewajiban dimasa muda saja, atau saat mendapatkan kelonggaran untuk menjalankannya. sekali-kali tidak… Bahkan ia merupakan kewajiban sepanjang masa, sebab iqomatuddin adalah ibadah kepada ALLÂH , sedangkan ibadah kepada ALLÂH adalah selama hayat masih dikandung badan, artinya sampai ajal menjemputnya.
ALLAH Azza wa Jalla berfirman :
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
"dan sembahlah Robbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)." (QS.al-hijr : 99)
Lihatlah bagaimana Abu Ayyub al-anshari Rodhiyallâhu anh dalam usianya yang renta,… 80 tahun , rambutnya yang sudah beruban, kulitnya yang masih keriput dan kekuatan fisiknya yang sudah melemah, namun ia masih merasa bahwa tanggungjawab iqomatuddin itu masih ada dipundaknya. Ketika kalangan muslimin yang lain dan sanak kerabatnya mencegahnya untuk ikut serta dalam kancah jihad, beliau tetap bersikukuh untuk dapat pergi beserta kafilah mujahidin dalam menggempur kekuatan romawi hingga Dien hanya milik ALLÂH semata dan Tauhid tersebar dimuka bumi. Dia berkata, setidaknya kehadirannya bersama mujahidin akan menambah jumlah pasukan muslimin… minimal. Dan nyatalah, dengan kehadirannya bersama pasukan, kaum muslimin merasa mendapatkan tambahan energy dan semakin bertambah gelora semangat pengorbanan mereka untuk berjihad dengan lebih sungguh-sungguh. Sebab Abu Ayyuub al-anshari adalah seorang shahabat Nabi yang mulia, bahkan beliau orang yang menjamu Rasûlullâh Shollallâhu alaihi wasallam selama berbulan-bulan ketika Rasûlullâh awal-awal datang di Madinah, yang dengan kata lain, kedudukan shahabat ini mendapatkan tempat tersendiri dihati Rasûlullâh Shollallâhu alaihi wasallam dan dihadapan ALLAH Azza wa Jalla .
Saat-saat menjelang pertempuran babak akhir sebelum penaklukan konstantinopel, ia sakit. Dan ia merasa bahwa ajalnya sudah dekat, namun demikian, gelora jihad tetap membara dalam jiwanya. semangat dan tanggung jawab iqomatuddin masih setia dia jalankan. Iapun berpesan, jika ia meninggal sebelum penaklukan konstantinopel, maka ia minta untuk dimakamkan di kota itu. ALLÂHU AKBAR,..sebenarnya itu adalah isyarat lain bahwa ALLÂH akan memberikan pertolongan kepada pasukan islam dengan takluknya kota itu. Dan benarlah,… belum lagi kota itu ditaklukan ,beliau sudah menemui ajalnya. Kaum muslimin pun menggotong jenazahnya diantara pasukan mujahidin yang bergerak hendak menggempur kota konstantinopel. Hingga berita itupun sampai ketelinga musuh, dan mereka terheran-heran dengan kejadian ini, tak terkecuali panglima pasukan romawi kala itu. Betapa tidak, orang yang mati saja masih ingin bertempur, apalagi yang hidup…. !
Ikhwati Fillah...
Para pendahulu kita memahami iqomatuddin dengan utuh. Dan ia memerlukan pengorbanan yang tak bertepi dan tak berujung. Apa yang diperankan shahabat Abu Ayyub al-anshari cukuplah menjadi gambaran bagi kita bahwa tanggungjawab iqomatuddin adalah sampai batas kematian. Dan bahwa semangat untuk tetap MENEGAKKAN DIEN tak boleh surut dan tak boleh lekang karena factor-faktor duniawi. Ia harus senantiasa terpatri dalam hati dan bergelora dalam jiwa, dengan segenap pengorbanan yang terbaik dan termahal yang bisa dipersembahkan kepada ALLÂH Yang Maha Agung lagi Maha Perkasa.
Janganlah salahseorang diantara kita memelihara sifat-sifat kemunafikan menjual dengan cara agamanya dengan harga yang murah. Dan jangan pula berfikir untuk menjual ayat-ayat ALLÂH dengan dunia yang hina. Apalagi menjadi ulama-ulama suu' … ulama-ulama yang buruk dan busuk yang menjadikan fikiran dan ilmunya hanya untuk menuruti syahwat dunia semata, yang tidak memiliki harga diri dan mereka menjual kehormatan saudara-saudara seiman serta agamanya ketangan musuh-musuh ALLÂH.
Saudaraku,….
Jika Jihad dalam rangka iqomatuddin sebagai ibadah yang terberat yang difahami Abu Ayyub al-anshari Rodhiyallâhu anh adalah kewajiban yang dibebankan kepada siapapun walau sudah usia lanjut,.. maka bagaimana dengan bentuk iqomatuddin yang lebih ringan dari itu…?
Pertanyaan ini tidaklah diperlukan jawaban dengan kata-kata indah yang tersusun rapi, akan tetapi perlu untuk direnungkan dan dihayati…. dan sudah barang tentu,… diamalkan !.
Wallahu a'lam
*** Disarikan dari majalah an-Najah , edisi 51/Dzulhijjah 1430 H/Desember 2009.
Mantaps boz....http://kopiradixlampung.blogspot.com/2010/10/program-manasik-haji-dan-belajar-bahasa.html#more
BalasHapus