*** Edisi Selasa, 16 Dzulhijjah 1431 H.
Sesungguhnya Umar bin Khottob Rodhiyallâhu 'anh tatlala menjadi khalifah pernah berpidato dihadapan kaum muslimin sedang pada bajunya terdapat 10 tambalan. Disisi yang lain diceritakan oleh Ibnu Umar, bahwa jika Umar bin Khottob membutuhkan sesuatu, dia datang ke Baitul Mal untuk meminjam. Mungkin saja Umar kesulitan untuk membayar hutangnya, sehingga penjaga baitul mal terpaksa harus menagihnya. Lalu Umar memintanya agar hutangnya diambil dari gajinya sebagai khalifah. Maka ketika masa bayaran tiba, Umar membayar hutangnya tadi.
Sementara Umar bin Abdul 'Aziz saat beliau menjadi Khalifah tak jauh berbeda dengan datuknya. Ia terkenal dengan sifat zuhud dan kesederhanaanya. Dikisahkan bahwa disaat ia selesai mengikuti penguburan khalifah sebelumnya, Sulaiman bin Abdul Malik, ia mendengar suara gaduh. Iapun menoleh, lalu berkata,"apa ini? ". Orang-orang berkata, "ini kendaraan anda wahai Amirul Mukminin, ia telah disiapkan untuk anda kendarai" . Umar bin Abdul Aziz memandangnya dengan sebelah mata, lalu berkata dengan suara gemetar dan terbata-bata karena kelelahan dan kurang tidur,"Apa hubungannya denganku?... jauhkanlah ia dariku, semoga ALLÂH memberkahi kalian, …bawa kemari keledaiku, ia cukup bagiku".
Lihatlah pula bagaimana kesederhanaan itu tercermin dari keluarga dan rumah Umar bin Abdul Aziz. Istrinya, Fathimah adalah seorang putri khalifah Abdul Malik. Saudara-saudaranya adalah para khalifah bani Umayyah. Ia dibesarkan ditengah-tengah keluarga khalifah sekaligus raja yang senantiasa dimanjakan dengan kemegahan dan harta yang melimpah. Namun semenjak Umar bin Abdul Aziz suaminya menjadi khalifah, kehidupannya jauh berbeda. Sebab Umar mengajaknya untuk hidup sederhana dan zuhud. Tanggung jawab yang besar dihadapan ALLÂH dan rasa takutnya kepada-Nya dalam memimpin ummat manusia menjadikan Umar semakin sederhana dalam memenuhi keperluan hidupnya. Fathimah selalu bekerja secara mandiri, menjahit pakaiannya dan membantu suaminya dalam merawat rumah jika diperlukan. Makanan yang sederhana, hanya dengan roti dan kacang adas sudah menjadi kebiasaannya.
Suatu hari seorang wanita dari irak menemui Amirul mukminin. Ia datang dari daerah yang jauh di irak menuju syam (Syria). Saat sampai diarea rumahnya, ia bertanya kepada orang-orang, "apakah Amirul Mukminin mempunyai penjaga? ". Orang-orang menjawab, "Tidak, masuklah jika engkau inginkan". Wanita itupun masuk menemui Fathimah. Ditangannya ada kain yang sedang ia rajut. Setelah salam dan dipersilahkan duduk, wanita ini mengangkat pandangannya. Ia edarkan penglihatannya keseluruh penjuru rumah Umar. Ia tidak melihat benda berharga atau menarik perhatian dirumahnya.
Umar datang lalu ia masuk kehalaman rumahnya. Ia menoleh kearah sumur diujung halaman rumah lalu meraih timba yang ia tuangkan ketanah liat yang ada dalam rumah. Pandangannya tertuju kearah Fathimah, istrinya.
Wanita yang bertamu tadi memperhatikan hal ini, ia segera berkata kepada Fathimah, "andaikan engkau menyingkir dari pandangan tukang pengaduk tanah itu, sebab saya lihat dia memandangimu terus-menerus" . Fathimah menjawab, "ia bukanlah seorang tukang pengaduk tanah. Dialah amirul mukminin". Kemudian Umar datang seraya mengucapkan salam. Lalu menyelesaikan keperluan wanita tersebut. Wanita itu pulang dengan terus menerus menguntaikan doa untuk Amirul Mukminin, Umar bin Abdul Aziz. Ia juga merasa kagum pada istrinya, Fathimah yang rela menjahit bajunya sendiri, padahal ia sangat mampu mendapatkan kenikmatan dunia dan perhiasannya sebanyak yang ia inginkan.
Banyak contoh-contoh kesederhanaan dan sikap zuhud yang ditempuh oleh para salaf teladan kita setelah tentunya sikap zuhud dari pemimpin orang-orang zuhud, Rasûlullâh Shollallâhu alaihi wasallam. Ali bin Abi thalib dan fathimah yang saat menikah tidak memiliki tempat tidur kecuali selembar kulit domba. Mereka tidur diatas lembaran itu pada malam harinya, dan siang hari mereka pergunakan sebagai wadah air. Mereka juga tidak memiliki pembantu untuk membantu urusan rumahnya.
Abu Dzar alghifari ra yang tidak memiliki perkakas rumahtangga dirumahnya. Sa'id bin 'Amir hanya memiliki sepotong baju, ia mencuci sendiri pakaiannya lalu ia menunggu kering, hingga ia bisa mengenakannya kembali, padahal ia seorang gubernur di Himsh pada pemerintahan Umar bin Khottob saat itu. Ia memiliki gaji dan Umarpun memberikan pemberian harta yang cukup banyak untuknya, namun ia bagikan kepada orang-orang faqir yang memerlukan, kecuali ia sisihkan sedikit saja untuk keperluan rumahnya. Dan kisah-kisah lain yang menakjubkan.
Sikap zuhud dan pola hidup sederhana yang ditempuh oleh Rasûlullâh saw dan para salaf bukanlah semata-mata karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk bisa mendapatkan dan memiliki harta. Akan tetapi mereka memilih pola hidup sederhana dan zuhud karena memandang dunia ini adalah hina dan melalaikan. Mereka lebih memilih kekayaannya diperuntukkan untuk dinikmati di akherat kelak. Mereka infaqkan hartanya untuk perjuangan islam dan mereka sedekahkan kepada kaum faqir dan miskin, sementara mereka sendiri rela hidup dengan kesederhanaan atau bahkan penuh penderitaan menurut ukuran manusia pada umumnya. Betapa tidak, tidur diatas lembaran yang membuat bekas-bekas garis dipunggungnya seperti yang dialami Rasûlullâh saw , makan dengan menu terbuat dari tepung kasar, pakaian hanya sehelai atau beberapa helai saja, rumah dengan atap yang bisa dipegang dan tidak luas, serta tanpa selimut yang memadai dimusim dingin, pakaian yang kasar dan tebal, atau bahkan pakaian yang bertambal-tambal.
Contoh yang ditempuh para salaf, sengaja kami ambilkan dari para tokoh pemimpin ummat. Agar semuanya semakin menjadi teladan bagi kita, bahwa dengan kedudukan yang dimiliki tidak menjadikan mereka malu untuk menempuh sikap zuhud dan pola hidup sederhana dalam memenuhi keperluan hidupnya. Maka semestinya kita harus lebih untuk tidak malu karenanya. Lihatlah Umar bin khottob yang mengenakan 10 tambalan dibajunya sedang ia saat itu seorang kepala Negara yang menguasai dataran arab, Syam dan Persia. Begitu pula Umar bin Abdul Aziz yang mengenakan pakaian yang bertambal disana sini dan ia kenakan sewaktu sholat jumat, padahal ia seorang Amirul Mukminin.
Rasûlullâh saw sendiri diakhir hayatnya meninggal dalam keadaan memiliki hutang dengan baju besi yang beliau gadaikan kepada seorang yahudi untuk beberapa sha gandum yang beliau perlukan guna memenuhi kebutuhan hidup keluarganya Shollallâhu alaihi wasallam. Demikian pula Umar bin Khattab ra yang memiliki hutang 36.000 (dirham) diakhir hayatnya sebagaimana banyak diantara salaf yang memiliki hutang saat meninggalnya.
Hari ini bukan berarti kita harus memiliki satu helai pakaian atau mengenakan baju yang nampak tambalan, sebab keperluan seseorang berbeda dengan orang lain, begitu pula keperluan hidup disuatu tempat boleh jadi tidak sama ditempat lain. Akan tetapi pola hidup sederhana sebagai cerminan sikap zuhud harus menjadi sifat yang dimiliki setiap mukmin, ia harus mempersedikit keperluan hidupnya sekuat tenaga, ia juga harus memperkecil jenis-jenis keperluan itu, ia harus berusaha menghemat pengeluaran dengan membelanjakan hartanya pada perkara-perkara yang diperlukan saja dan bukan untuk bersenang-senang dan memenuhi keinginan yang sifatnya accesories, gaya hidup atau hanya sekedar menghilangkan rasa gengsi belaka. Ia harus merasa puas dengan perlengkapan yang sederhana dan sekedarnya.
Namun yang menjadi tantangan dan ujian dalam menempuh pola hidup sederhana adalah perasaan malu dihadapan manusia. Ia merasa malu jika rumahnya sempit dan sederhana, ia malu jika pakaiannya tidaklah mahal, ia malu jika tidak mengganti kendaraanya dengan keluaran terbaru, ia malu jika telpon genggamnya jenis jadul (baca: jaman dulu), ia malu jika alas kakinya murah harganya, ia malu jika masih bertahan dengan peci atau kerudungnya yang sudah usang, ia malu jika tidak memakai perhiasan, ia malu jika tasnya bukan tas kwalitas tinggi, ia malu jika makanannya alakadarnya, ia malu jika tidak memiliki perkakas rumahtangga yang standart, ia malu jika membeli barang secondhand, dan seterusnya.
Padahal sikap sederhana dan sahaja dalam memenuhi keperluan hidup haruslah mengenyahkan perasaan malu dihadapan manusia. Sebab perasaan malu hanya akan membuat dirinya tidak bisa hidup sederhana dan bahkan akan menyeretnya kepada pola hidup yang royal dan boros.
Bagi orang-orang mukmin sejatinya menjadikan kehidupan akherat sebagai obsesi terbesarnya. Ia juga selalu meluruskan niatnya dalam semua pemenuhan keperluan hidupnya hanya mengharap pujian dari ALLAH Azza wa Jalla semata. Namun bagi orang yang selalu mengharapkan pujian manusia dalam banyak aktifitas dan sikapnya memang akan merasa berat untuk menempuh sikap sederhana ini. Sebagaimana orang yang takut dengan cemoohan manusia. Padahal keikhlasan sesungguhnya hanya akan didapat manakala ia tidak peduli dengan pujian dan cemoohan manusia, selama ia yakin akan mendapatkan keridlaan ALLAH Azza wa Jalla.
Jika perasaan malu dan gengsi sudah dapat diatasi maka pola hidup sederhana dan sikap zuhud akan menjadi mudah baginya. Dan itu semua tidak bisa ditempuh kecuali dengan memahami dan menyadari bahwa sikap zuhud terhadap dunia akan menyelamatkan dia diakherat kelak. Sebab orang-orang miskin akan lebih dahulu masuk surga dari pada orang kaya. Dan hisab terhadap orang yang memiliki 2 dirham adalah lebih keras daripada orang yang memiliki 1 dirham. Siapa yang menyadari bahwa dunia ini akan fana dan hidup manusia hanya sekedar melintas belaka, dan tingginya nilai akherat serta kekekalannya, maka dia akan kokoh untuk mengambil sikap zuhud dan tidak lagi malu terhadap manusia, apalagi ketika dia sadar bahwa ia harus memiliki andil dalam memperjuangkan Diennya, yang ia wujudkan dalam infaq.
Wallahu a'lam.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !