Tuntutan Cinta
Written By Al-ghuraba on Rabu, 21 Maret 2012 | Rabu, Maret 21, 2012
*** Edisi Selasa, 26 Rabi’ul Akhir 1433 H.
Anda pernah mendengar atau membaca berita seseorang yang bunuh diri karena putus cinta ?... atau seseorang yang rela mengorbankan anaknya jadi tumbal untuk dibunuh demi cintanya kepada harta?.... atau seseorang yang rela menyerahkan “cincin keperawanannya” karena demi cinta?.... atau seseorang yang menghabiskan seluruh hartanya hanya untuk bisa mewujudkan cinta kepada kekasihnya?... atau anda masih ingat bagaimana seorang raja bani israil yang berani membunuh seorang nabi, yaitu Nabi Yahya, lalu dihadirkannya kepadanya kepala Nabi Yahya alaihissalam lantaran cintanya sang raja kepada keponakannya yang cantik jelita?
Nah, begitulah hasil dari tuntutan cinta yang keji. Cinta sudah banyak menergelincirkan manusia dari kebenaran kepada kebathilan, dari akal sehat kepada fikiran busuk, dan dari cahaya menjadi kegelapan. Namun, tidak semuanya cinta menjadikan seseorang menjadi terpuruk, sebab ada pula kecintaan yang diwajibkan untuk dimiliki dan ia merupakan sesuatu yang amat terpuji, yaitu cinta kepada ALLAH dan Rasul-Nya, yang mana darinya sama-sama menuntut konsekwensi dan buktinya. Cinta memang menuntut bukti dari kecintaanya, baik cinta itu pada sesuatu yang buruk atau cinta dalam hal sesuatu yang baik.
Untuk sekedar mengetahui tuntutan cinta, berikut ini contoh kasus yang pernah terjadi pada zaman Tabi’ien :
Suatu kali Abdul Malik bin Marwan menunaikan ibadah haji, kala itu ia seorang khalifah Bani Umayyah. Saat itu ia juga ditemani Khalid bin Yazid bin Mu’awiyyah yang masih familinya yang berangkat bersamanya dari syam. Khalid adalah seorang pemuda quraisy yang terpandang dan sangat disegani Abdul Malik.
Tatkala Khalid thawaf disekitar Ka’bah, tiba-tiba pandangannya terpaut dengan Ramlah binti Az-Zubair bin al-Awwam, seketika iapun jatuh cinta kepada Ramlah. Ia benar-benar mabuk kepayang dan sangat mencintai Ramlah karena kecantikannya. Khalid tidak mampu untuk menguasai hatinya.
Saat ibadah haji telah usai, Abdul Malik bermaksud kembali pulang ke syam beserta rombongannya, namun Khalid tidak ingin pulang bersamanya, Abdul Malik merasa ganjil lalu iapun mengirim utusan kepada Khalid dan menanyakan perihalnya. Maka Khalid berkata, “Wahai Amirul-Mukminin, kulihat Ramlah binti az-Zubair melakukan thawaf di sekitar ka’bah sehingga membuat fikiranku kacau tidak karuan. Demi ALLAH, saya tidak bisa menceritakan kepadamu bagaimana bergejolaknya hatiku, sehingga aku tidak bisa menguasai kesabaranku. Ku bawa mataku untuk tidur tapi ia menolak,… ku hibur hatiku tapi ia tidak mau”.
Cukup lama Abdul Malik terhenyak dengan cerita Khalid, ia sangat heran karena betapapun Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah adalah orang terpandang yang ia segani, lagipula ia seorang yang sudah beristeri. Abdul Malik saja seorang khalifah menyeganinya, padahal kita tahu Abdul Malik adalah seorang yang faqih yang ahli ibadah lagi dermawan.
Khalid terus menuturkan gejolak hatinya itu yang tidak sama dengan perasaan cinta yang diungkapkan oleh para penyair ataupun arab badui, hingga Abdul Malik bertanya kepadanya :”apakah semua itu benar-benar sudah terjadi pada dirimu?”. Khalid menjawab, “Demi ALLAH , saya belum pernah mendapatkan cobaan seberat ini sebelumnya”.
Lalu Abdul Malik pun langsung menemui az-Zubair bin al-Awwam, shahabat Nabi ternama yang kesatria itu untuk melamar Ramlah agar dinikahkan dengan Khalid.Masalah ini disampaikanlah kepada Ramlah, maka Ramlah berkata, “Tidak demi ALLAH,… saya tidak mau menikah dengannya kecuali jika Khalid mau menceraikan isterinya. Maka seketika itu ia menceraikan dua isterinya, lalu ia pindah ke Syam bersama Ramlah. Ia pun menyenandungkan syair yang menggambarkan cintanya yang membara kepada Ramlah kala itu.
CINTA KEPADA ALLAH
Kisah diatas adalah kisah nyata yang pernah terjadi yang disebutkan oleh Ibnul-Qoyyim Rahimahullah didalam kitab Raudhatul-Muhibbin.
Kami hanya ingin memberikan contoh kongkret bagaimana cinta itu memiliki tuntutan, sebagaimana banyak kisah yang menunjukkan akan hal ini. Dari sini kita dapat dengan mudah memahami bahwa hakikat cinta kepada ALLAH tidak jauh berbeda dengannya, akan tetapi tentunya dengan perumpamaan dan kedudukan yang lebih mulia dan lebih agung dari hanya sekedar cinta kepada sesama makhluk, sebab ALLAH adalah sang Khaliq dan Robb alam semesta.
Perbedaanya adalah jika ada kesamaan kecintaan kepada makhluk-makhluk (selain kepada Rasulullah) maka hal itu dibenarkan, sedangkan kecintaan kepada ALLAH tidak boleh disamakan dengan kecintaan kepada selain-Nya, sebab menyamakan kecintaan kepada-Nya dengan selain ALLAH merupakan kesyirikan.
Firman ALLAH :
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah”. (QS.al-Baqarah :165)
Barangsiapa yang memberikan kecintaan, kerendahan dan ketundukannya kepada selain ALLAH, maka dia telah menyamakan selain-Nya dengan ALLAH dalam hak-Nya yang murni milik-Nya.
Kecintaan kepada ALLAH adalah unsur yang harus ada dalam penghambaan dan penyembahan kepada ALLAH. Didalam kecintaan terdapat ketundukan dan ketaatan, dan tauhid uluhiyyah menuntut seseorang untuk tunduk dan taat hanya kepada ALLAH semata, dengan tidak diiringi ketundukan dan ketaatan kepada tandingan-tandingan selain ALLAH.
Imam Ibnul-Qoyyim Rahimahullah didalam kitab Ad-daa wa ad-Dawa menyebutkan bahwa Ubudiyyah (penghambaan kepada ALLAH) tegak diatas dua pilar utama, yaitu puncak kecintaan dan puncak kerendahan diri dihadapan-Nya, dan inilah kesempurnaan penghambaan.
Oleh sebab itu penghambaan atau ibadah seorang hamba kepada ALLAH haruslah terkandung didalamnya 2 pilar ini, sedang kekosongan dari 2 pilar ini ibadahnya sama sekali tidak bermakna.
TUNTUTAN CINTA
Sebagaimana dalam hal cinta kepada sesama makhluk seperti dalam kisah diatas, maka sesungguhnya kecintaan menuntut adanya ketaatan kepada yang dicintainya, bahkan dia rela berkorban demi mendapatkan kecintaan dari kekasihnya, apa saja yang diinginkan dan diperintahkan kekasihnya maka dia melaksanakannya, ia juga akan benar-benar memperhatikan apa saja yang menjadi kesenangan dzat yang dicintainya sehingga ia melakukannya. Demikian pula ia akan memperhatikan apa-apa saja yang dimurkai kekasihnya, sehingga dia akan menjauhi sejauh-jauhnya darinya dan jika ada perkara-perkara yang tidak disukainya, maka dia berusaha menghindarinya.
Maka demikianlah orang-orang mukmin sejati, dia akan melaksanakan apa yang diperintahkan ALLAH kepadanya dan memperbanyak amalan yang disukai ALLAH, sedang dalam waktu yang bersamaan dia akan menjauhi apa saja yang diharamkan ALLAH dan menghindari yang tidak disukai oleh-Nya. Yang demikian itu karena orang mukmin betapa besar kecintaannya kepada ALLAH.
Sifat Marah Nabi shollallahu alaihi wasallam ketika ada batasan ALLAH yang dilanggar oleh para shahabatnya adalah contoh bagaimana pembelaan beliau kepada ALLAH. Begitu pula beliau shollallahu alaihi wasallam memberikan pembalasan atas perlakuan buruk orang-orang kafir yang menodai islam, karena sejatinya hal itu berarti menodai kehormatan ALLAH. ALLAH murka bila kehormatannya dinodai, maka orang-orang mukmin pun harus murka jika kehormatan ALLAH dinodai, dan itu adalah bagian dari kecintaan kepada sang Khaliq.
Dalam hal orang-orang yang dicintai oleh kekasihnya, maka demikian pula ia akan mencintai siapa saja yang dicintai kekasihnya sebagaimana dia juga akan membenci orang-orang yang dibenci oleh kekasihnya. Oleh sebab itulah ALLAH menyebutkan bahwa orang mukmin tidak berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang ALLAH dan Rasul-Nya.
Firman ALLAH Azza wa Jalla :
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat) -Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung “ (QS.almujadilah :22).
Dalam ayat ini ALLAH mengabarkan bahwa orang-orang yang beriman kepada ALLAH dan hari akherat tidak akan mencintai orang-orang yang menentang ALLAH dan Rasul-Nya walaupun mereka dari kerabatnya sendiri. Ayat ini juga sekaligus memberitakan bahwa orang-orang yang mencintai orang-orang yang menentang ALLAH dan Rasul-Nya adalah bukan dari golongan orang beriman, seperti orang-orang yang berwali kepada orang-orang yahudi.
Begitu pula kebalikannya, ketika ALLAH mencintai hamba-hamba-Nya yang shalih maka orang-orang mukmin hendaknya mencintai mereka demi kecintaan kepada ALLAH. Seperti mencintai para Nabi dan Rasul, mencintai para shahabat Nabi, dan seterusnya.
Singkatnya, orang yang mencintai ALLAH hendaknya mengikuti Rasulullah shollallahu alaihi wasallam, sebab Rasulullah sudah menuntun kita untuk mencintai siapa saja yang harus dicintai dan membenci siapa saja yang harus dibenci. Menuntun kita untuk melaksanakan apa yang diperintahkan ALLAH dan menjauhi apa yang dilarang-Nya.
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Ali-Imran :31).
Dan hendaknya kecintaan kepada ALLAH dan Rasul-Nya harus melebihi kecintaannya kepada selain keduanya. Sebagaimana sabda Nabi shollallahu alaihi wasallam:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
"Tiga perkara yang apabila ada pada diri seseorang, ia akan mendapatkan manisnya iman: (yaitu) (pertama) Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya. (kedua) Jika ia mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah. Dan (ketiga) dia benci kembali kepada kekufuran seperti dia benci bila dilempar ke neraka" HR. al-Bukhari :15 .
Demikianlah, semua kecintaan yang dibenarkan bagi orang-orang beriman adalah kecintaan karena ALLAH semata, sebab ia merupakan perwujudan dari kecintaannya kepada ALLAH. Dengan kecintaannya kepada-Nya akan melahirkan ketaatan dan ketundukan.
Sebagaimana pula kecintaan dituntut adanya pengorbanan sebagai bukti kecintaannya kepada-Nya. Atas alasan inilah mengapa seorang mukmin merasa damai hatinya ketika dia harus mengorbankan apa saja yang dia miliki demi meraih kecintaan ALLAH atau karena cintanya kepada ALLAH, dia berjihad dijalan-Nya dan mempersembahkan ruhnya di kancah jihad demi tegaknya syariat ALLAH, ia merelakan nyawanya demi kecintaannya kepada ALLAH,... Dan atas alasan ini pula Ibrahim alaihissalam rela mengorbankan Ismail buah hatinya demi mendapatkan kecintaan dari kekasihnya, yaitu ALLAH.
Dan selain itu, tentunya segala bentuk dan jenis pengorbanan yang lebih rendah dari itu yang acapkali diperlukan yang merupakan bukti kecintaannya kepada ALLAH.
Inilah persinggahan orang-orang mukmin dalam menuju Rabbnya, beribadah dan mengabdi kepada ALLAH dengan sebaik-baiknya karena ia memiliki kecintaan yang besar kepada ALLAH. Dan padanya ada tuntutan dan konsekwensi sebagai wujud dari kecintaannya.
Sedangkan orang-orang musyrik dia menyamakan kecintaaan mereka kepada selain ALLAH sama dengan cintanya kepada ALLAH, atau bahkan lebih mencintainya, maka renungkanlah ini,… janganlah kita menjadi seperti orang musyrik yang menyamakan cinta mereka kepada selain ALLAH dengan cinta mereka kepada-Nya….. Atau kecintaan seseorang yang lemah sehingga dia merasa berat untuk mempersembahkan pengorbanan sebagai bukti nyata kecintaanya kepada-Nya, jikalau demikian lalu mana cintanya kepada-Nya yang dia kleim selama ini ?.
Wallahu a’lam.
**Disarikan dari : Ad-Daa wa ad-Dawa - Ibnul-Qoyyim aljauziyah Rahimahullah – pustaka imam asy-syafi’i, Jakarta. # Mukhtashar Raudhatul-Muhibbin – Ibnul-Qoyyim aljauziyah – pustaka Arofah, solo. # Mukhtashar Madarijus-salikin – Ibnul-Qoyyim alJauziyah –Pustaka al-Kautsar, Jakarta.
Label:
Hati
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !